Gebyok Joglo
Rumah Joglo dalam bahasa Jawa dijelaskan sebagai sebuah
rumah adat jawa yang sangat khas. Rumah adat jawa yang dimaksud ini adalah
sekitaran Jogjakarta, joglo Kudus, joglo jepara, joglo grobogan dan joglo
blora.
Jenis jenis rumah joglo ....
1. Joglo limasan lawakan
utawa “joglo lawakan”.
2. Joglo Sinom
3. Joglo Jompongan
4. Joglo Pangrawit
5. Joglo Mangkurat
6. Joglo Hageng
7. Joglo Semar Tinandhu
Dalam rumah joglo biasanya ada gebyok yang membatasi antara
ruang utama dengan ruang belakang (dapur) ...
ini gebyok polos bukan gebyok ukir dengan motif kembang |
Gebyok rumah joglo sekarang ini bisa dimanfaatkan untuk
banyak hal... ada yang untuk hiasan dinding biar tidak terus di cat. Juga bisa
dijadikan Variasi antik pada ruangan-ruangan rumah modern.
Juragangebyok akan menerangkan sedikit gambaran tentang
pintu gebyok. Sederhana tapi elegan itulah gambaran Pintu Gebyok polosan
original, tanpa ada tambahan ukiran, plitur maupun cat. Untuk satu set pintu
biasanya ada yang 2, 3 dan 5 tergantung ukuran rumahnya, inilah wujud asli
pintu gebyok dengan serat kayu jati lama yang khas menambah menawan dengan
bahan kayu jati special yang umurnya bisa mencapai puluhan bahkan ada yang
ratusan tahun, dari segi teknik pembuatan masih tradisional yaitu menggunakan
Pethel Kayu dan palu dengan metode di tatah menghasilkan hasil yang luar biasa
alami untuk masalah kualitas jelas dijamin hama kayu tidak bisa mempan makan
bahan pintu gebyok. untuk anda yang suka alami maka seperti inilah tampilan
sesungguhnya tapi apabila menghendakai dengan diplitur maka serat jatinya akan
muncul dan menambah elegan pintu gebyoknya. Pintu Gebyok Jati Original sekarang
banyak diminati karena bentuknya yang sederhana tapi elegan, untuk pemakaian
biasanya dipakai untuk Rumah joglo semi modern, pendopo, Rumah makan, Hotel,
Resort , Villa
Penjelasan Gebyok
Jawa
Pada kesempatan kali ini saya mencoba mengupas pengertian,
makna, dan nilai dari sebuah gebyok itu sendiri dari sisi etik dan estetik, dan
dari singkat sejarahnya hingga masih bertahan sampai saat ini Gebyok dengan
Ukirannya. Seorang filsuf asal Rusia Leo
Tolstoy mengatakan “Seni itu bukan kerajinan, melainkan perwujudan perasaan dan
pengalaman seniman sedangkan kerajinan perulangan kemahiran yang turun temurun”.
Kerajinan tidak mencerminkan perasaan seniman, melainkan mencerminkan rajin-
sregrep– dari pembuatnya tersebut. Oleh karena itu Gebyok bukan hanya kerajinan
melainkan mempunyai makna.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, pemimpin Jepara pada
abad ke 16 baca juga: Sejarah Kota Jepara gebyok telah diciptakan dan menjadi
masterpice. Gebyok mencerminkan pemikiran dan perasaan estetik maupun etik.
Gebyok bukan semata-mata bentuk yang tidak ada artinya. Gebyok menunjuk pada
kebijakan manusia.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, gebyok yang sudah
berkembang adalah rumah dari kayu yang dipenuhi oleh kerajinan ukir. Gebyok
diciptakan untuk meraih tujan praktis, etis, dan estetik. Sebagai kebutuhan
praktis yaitu gebyok sebagai rumah yang layak, walaupun penuh ukiran tetapi
tidak meninggalkan kekuatan sebagai penyangga rumah. Dan rumah ini bukan rumah
biasa melainkan rumah yang terhormat. Betapa tidak, untuk membuat gebyok
sendiri diperlukan bahan kayu pilihan, tenaga ahli yang cukup handal, serta
membutuhkan waktu yang cukup.
Gebyok juga punya nilai etis karena gebyok memiliki pesan
spiritual bagi penghuninya. Ukiran dalam gebyok (SP Gustami, 2008) menceritakan
tujuan hidup manusia –sangkan paraning dumadi-: keharmonisan, kesejahteraan dan
kedamaian. Keharmonisan desain gebyok memperlihatkan pentingnya keharmonisan
hidup dengan alam. Gebyok juga tanda tentang jalan ke surga, naik turunnya roh
nenek moyang. Swastika adalah simbol harmoni dan keseimbangan hidup. Bung bambu
adalah simbol regenerasi, kesuburan, dan keberlanjutan hidup. Kala makara
adalah simbol cinta antara ibu dan anak.
Gebyok hingga kini menjadi salah satu warisan budaya
Indonesia yang tidak lekang oleh zaman. Gebyok penuh metafor dan simbol pesan
tentang kebijakan hidup, tentang kesejahteraan hidup. Sejahtera bukan di dunia
saja melainkan di akhirat.
Gebyok dahulu pernah menjadi simbol kekayaan di kudus.
Gebyok banyak dipakai di rumah Kudus sebelum tahun 1810 M, menjadi simbol
kejayaan dan kekayaan pemiliknya. Lingkungan Kudus Kulon diciptakan sebagai
tempat khusus rumah tradisional kudus.
Tumbuhnya kesadaran dan kebanggaan akan warisan budaya
daerah, ikut serta menciptakan kegairahan dalam memelihara dan mengembangkan
budaya gebyok. Kini gebyok banyak disukai di seluruh Indonesia bahkan di dunia.
Sebelumnya, seni ukir kudus didominasi oleh bunga teratai.
Hal ini bisa dimengerti karena pada saat itu pada zaman dahulu, agama mayoritas
warga Kudus adalah agama Hindu. Sunan Kudus, penyebar agama Islam tanah Jawa,
memperkenalkan ukiran dari bunga melati. Bunga melati berukuran kecil, putih
dan wangi. Arti dari melati sebagai perlambang bahwa penganut agama Islam pada
waktu itu berjumlah kecil, namun bisa memberikan wewangian bagi sekeliling.
Melati dalam gebyok dibikin tersambung satu sama lain, dan juga menyatu dengan
komponen yang lain. Makna simbolik dari
kedekatan ini adalah umat Islam dan umat dari agama lain sebaiknya
bersatu membangun kedamaian, walaupun berbeda agama dan pendapat.
Ukir kayu pada gebyok membutuhkan kemahiran tingkat tinggi.
Sampai sekarang kemahiran ini tidak pudar. Pengrajin gebyok banyak ditemukan di
daerah Jepara dan Kudus. Darimanakah mereka membangun kemahiran ukir ini?
Asal Mula Keahlian Mengukir
Kudus sekarang lebih dikenal sebagai kota rokok, sedangkan
Jepara sebagai kota ukir. Jauh sebelum Jepara terkenal sebagai kota ukir, kota
Kudus justru terlebih dahulu terkenal sebagai pusat ukir. Ukiran diperkenalkan
kepada masyarakat Kudus saat imigran terkenal dari kota Yunan – Tiongkok The
Ling Sing, datang di abad ke 15. The Ling Sing datang ke Kudus tidak hanya
menyebarkan agama Islam tetapi juga
mengajarkan seni ukir kayu. Ukirannya dikenal dengan sebutan Sung Ging, yang
terkenal kehalusannya serta adikarya yang sungguh menakjubkan.
The Ling Sing kemudian dikenal sebagai mubaligh (penyebar
Islam) yang dikenal dengan nama Kiai Telingsing. Nama tersebut kini diabadikan menjadi nama
jalan besar di Kota Kudus. Di Kudus juga terdapat kampung yang bernama
Sunggingan, diperkirakan dari sebutan Kiai Telingsing.
Dari abad ke 16 sampai abad 18 pengrajin ukir kayu Kudus
menerima berbagai pesanan untuk membangun rumah kayu. Bahan utamanya kayu jati
dengan kualitas terbaik yang disupplai dari hutan Blora, Tuban, dan Bojonegoro. Pada abad ke 19
kayu jati dengan kualitas terbaik sudah semakin sulit, sehingga menyurutkan
minat mereka untuk mengembangkan keahliannya.
Kemahiran ukir yang masih bertahan hingga sekarang justru
berada di Jepara, kota tetangga Kudus. Kemahiran ukir Jepara sangat terkenal
dan bertahan hingga sekarang. Sentra pembuat gebyok pun terletak di kota
Jepara, yang berdekatan dengan kabupaten Kudus.
Meskipun demikian tidak berarti Jepara melanjutkan tradisi
Kudus. Jepara juga punya tradisi ukir yang tua. Kalau guru ukir Kudus adalah
Kiai The Ling Sing, guru ukir warga Jepara adalah Tji Wie Gwan atau Sun Ging
Badar Duwung. Salah satu karya Tji Wie
Gwan dapat dijumpai pada ornamen Masjid di Mantingan yang dibangun pada tahun
1559. Kemudian Sunging Badar Duwung ini
mengajarkan kerajinan ukir pada kayu pada warga Jepara, dan kemahiran itu
dipertahankan secara turun temurun hingga sekarang.
sumber : https://jv.wikipedia.org/wiki/Omah_Joglo
sumber : https://jv.wikipedia.org/wiki/Omah_Joglo
Comments
Post a Comment